Banyak orang selalu membanding-bandingkan Jam Gadang Bukittinggi dengan Big
Ben London. Namun seperti apa bentuknya Big Ben London tersebut, mungkin belum
banyak yang mengetahuinya.
Big Ben adalah
nama yang merujuk pada sebuah menara jam yang terletak di Gedung Parlemen di
Westminster, London, Inggris Raya, dan merupakan menara jam terbesar kedua di
dunia. Jam ini terletak di timur laut dari Rumah Parlemen di Westminster,
London. Ada alasan menara ini dinamai Big Ben, Big Ben sebenarnya adalah nama
kecil dari lonceng yang terletak di dalamnya (dulunya adalah Great Bell)
Menara ini dibangun sebagai bagian dari rencana pembangunan istana baru oleh Charles Barry, setelah Istana Westminster yang lama telah hancur akibat kebakaran pada malam 22 Oktober 1834.
Sedangkan Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazin Sutan Gigi Ameh, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan Minang Kabau yang berarti "jam besar". Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol kota Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk klenteng. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan kedutaan besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010
Menara ini dibangun sebagai bagian dari rencana pembangunan istana baru oleh Charles Barry, setelah Istana Westminster yang lama telah hancur akibat kebakaran pada malam 22 Oktober 1834.
Sedangkan Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazin Sutan Gigi Ameh, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan Minang Kabau yang berarti "jam besar". Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol kota Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk klenteng. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan kedutaan besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010
OUTSIDE
VIEW
Big Ben
Menara ini tingginya 96.3 meter (316 kaki) dan dibangun dengan gaya Gothik
Victoria. 61 meter (200 kaki) di bawah jam terbuat dari bata yang dilapisi oleh
batu, sedangkan puncak menara ditopang dengan rangka besi yang dibuat dari besi
leleh. Menara ini dibangun di atas tanah berukuran 15 meter kali 15 meter,
fondasi terbuat dari beton setebal 3 meter (9 kaki), pada kedalaman 4 meter (13
kaki) di bawah permukaan. Semua sisi jam tingginya 55 meter (180 kaki) dari
atas tanah.
Karena berubahnya kondisi tanah sejak pembangunannya, Menara Big Ben sedikit
miring ke barat laut kurang lebih 220 milimeter (8.66 inci), menara ini miring
setiap tahun sebanyak beberapa milimeter ke arah timur dan barat dikarenakan
efek thermal.
Jam Gadang
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara
jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dimana tingkat paling
atas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga
harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen.
Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih. Keunikan dari Jam Gadang
sendiri adalah pada kesalahan penulisan angka Romawi empat (IV) pada
masing-masing jam yang tertulis "IIII". Kesahalan penulisan tersebut
juga sering terjadi di belahan dunia, seperti angka 9 yang ditulis
"VIIII" (seharusnya IX) ataupun angka 28 yang ditulis "XXIIX"
(seharusnya XXVIII).
Secara struktur dapat dikatakan bahwa Jam Gadang lebih hebat dari Big Ben
London karena meskipun dibuat hanya dari kapur, telur dan pasir putih, Jam
Gadang dapat bertahan dari beberapa gempa yang mengguncang Sumatera Barat dan
tidak pernah diberitakan menjadi miring seperti Big Ben London atau pun Menara
Pisa.
INSIDE - MACHINE
Big Ben
Big Ben
Jam ini terkenal karena ketepatannya. Pendesainnya
adalah seorang pengacara dan horologis amatir Edmund Beckett Denison, dan
George Airy, seorang Astronom Kerajaan. Jam ini dibuat oleh Edward John Dent,
yang menyelesaikannya pada tahun 1854. Namun menara Big Ben belum selesai saat
itu sampai tahun 1859.
Pepatah Inggris putting a penny on yang berarti memperlambat laju, muncul
dari metode metode-substansi yang berasal dari pendulum jam. Di atas pendulum
terdapat setumpuk koin penny, koin ini digunakan untuk mengubah waktu jam.
Menambah atau mengurangi koin mengubah pusat gravitasi jam, sehingga waktu
bertambah sebanyak 0.4 detik sehari.
Ketika Blitz London, Istana Westminster sempat dibom oleh Jerman, pada 10
Mei 1941, sebuah bom tiba-tiba menghancurkan dua dari empat muka jam dan
sebagian dari atap menara dan menghancurkan ruangan dewan rakyat. Arsitek Sir
Giles Gilbert Scott merancang lagi ruangan lima-lantai. Dua lantai yang diisi
saat ini dengan ruangan lain pertama kali digunakan pada tanggal 26 Oktober
1950, jam ini masih berjalan, walaupun serangkaian serangan bom besar terus
terjadi dan berlangsung sampai Blitz berakhir.
Pada Jam Gadang Bukittinggi, terdapat 4 jam dengan
diameter masing-masing 80 cm, dimana mesin jam dan permukaan jam terletak pada
satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Jam tersebut didatangkan langsung
dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara
mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu
sendiri dan Big Ben di London, Inggris.
INSIDE - PENUNJUK JAM
Big Ben Jam Gadang
INSIDE - LONCENG
Big Ben
Jam Gadang